Pages

Pengaruh Kejahatan Etika Bisnis terhadap Korporasi (Media Massa)

Senin, 25 November 2013
Media massa dianggap sebagai salah satu agen yang amat berperan dalam imitasi perilaku sosial, termasuk kriminalitas. Harian Kompas dan Tb Ronny Nitibaskara (10/11/2008) menulis, media massa, terutama televisi, berperan dalam imitasi perilaku kejahatan, termasuk mutilasi. Berbagai berita kejahatan yang disajikan media, terutama televisi, dinilai mampu menginspirasi khalayak melakukan aksi-aksi kriminalitas.
Dalam catatan Litbang Kompas, sejak Januari hingga November 2008 terjadi 13 peristiwa pembunuhan mutilasi di Indonesia. Angka tertinggi untuk periode tahunan sejak kasus mutilasi muncul tahun 1967. Pada tahun 2007 terjadi tujuh peristiwa mutilasi (Kompas, 10/11/2008). Telaah tentang pengaruh media massa bagi perilaku sosial sebenarnya sudah menjadi kajian lama. Riset Albert Bandura tahun 1977 menemukan, televisi mendorong peniruan perilaku sosial, bahkan pada tahap akhir mampu menciptakan realitas (teori pembelajaran sosial kognitif).
Untuk konteks Indonesia, debat tentang tema itu masih berlangsung tanpa refleksi berarti bagi media massa, terutama televisi. Hingga kini, fokus perhatian etika media massa ada pada wilayah teknik jurnalistik. Wilayah teknis dalam etika media massa ini terkait proyek bagaimana menghasilkan berita yang sesuai dengan fakta dan mengurangi bias sekecil mungkin. Nilai berita, yaitu kebaruan, kedekatan, kebesaran, signifikansi, dan human interest, menjadi rambu-rambu teknis untuk menentukan kelayakan berita. Pembangunan etika didasarkan prinsip-prinsip teknis, yaitu akurasi, keberimbangan, dan keadilan (fairness). Tujuan utamanya adalah membangun obyektivitas dan kebenaran (truth). Hingga kini, berbagai jenis pelatihan etika jurnalistik hanya berorientasi pada masalah etika dalam wilayah teknik jurnalistik.
Dalam kompetisi industri media yang kian seru, pertimbangan teknis sering hanya didasari etika teknis. Sebuah talkshow di televisi baru-baru ini membahas mutilasi dengan mengundang dua narasumber, yaitu seorang kriminolog dan ahli forensik. Sang ahli forensik dengan dingin memaparkan aneka jenis modus mutilasi dengan amat rinci, termasuk cara pemotongan bagian-bagian tubuh. Jika memakai kaidah etika teknik, tidak ada yang salah dengan acara itu karena memenuhi kaidah akurasi, namun sulit disanggah, susah menemukan makna publik di balik pemaparan berbagai teknik mutilasi itu bagi masyarakat. Tak heran jika Sri Rumiyati memutilasi suaminya karena terinspirasi Ryan lewat tayangan televisi. Masalahnya, ada di wilayah etika kedua terkait makna publik. Wilayah ini melampaui wilayah teknik dan berusaha menampilkan media massa terkait makna publik (public meaning) di balik berita. Etika pada level ini tidak lagi berurusan dengan operasi teknis, tetapi sebagai landasan moral dalam menghadapi fakta publik (Ashadi Siregar, 2008). Jadi, masalahnya bukan bagaimana menyusun reportase sesuai fakta, tetapi menyampaikan analisis berita (news analysis) agar mempunyai makna publik. Dengan demikian persoalannya bukan apakah sebuah berita sesuai dengan fakta, tetapi apakah berita itu memiliki nilai publik.
Dalam konteks televisi, temuan Bandura tiga puluh tahun lalu seharusnya menjadi peringatan bahwa menampilkan fakta apa adanya ternyata tidak cukup. Menampilkan ahli forensik dalam talkshow TV dan memaparkan teknik mutilasi secara rinci harus dihadapkan pada konteks makna publiknya. Konsekuensi dari etika selanjutnya adalah melihat berita sebagai wacana (discourse) dalam konteks kompetisi perebutan makna adalah kehidupan publik.
Berita diposisikan sebagai unit yang mampu memengaruhi proses pembentukan makna dalam kehidupan publik. Kehidupan publik merupakan kawanan makna yang dihasilkan dari perebutan makna oleh berbagai pemegang alat produksi makna. Postmodernitas mengajarkan, makna selalu relatif bergantung pada siapa yang keluar sebagai pemenang dari medan pertempuran makna. Media massa tidak bisa bersikap naif dengan melarikan diri dari pertempuran itu dan dengan selubung teknik jurnalisme. Persis saat media massa merupakan salah satu lembaga yang signifikan dalam produksi makna, di situ masalah etika publik menjadi relevan. Dalam perang makna, ada tiga peserta utama, yaitu negara, pasar, dan masyarakat. Tiga hal ini saling berseteru memperebutkan makna sesuai kepentingan masing-masing. Kehidupan publik yang ideal adalah fungsi dari keseimbangan tiga sektor itu.
Secara struktural, sebenarnya bangunan kehidupan media massa sudah ideal. Negara sudah menumpulkan sengat politiknya lewat UU Pers No 49/1999 dan UU Penyiaran No 32/2002. Artinya, hegemoni negara sudah bisa dilucuti. Untuk media penyiaran, aspirasi masyarakat sipil sudah termanifestasikan melalui KPI (meski KPI sering kelimpungan menghadapi industri yang keras kepala). Secara bisnis, bisnis media massa Indonesia sudah amat leluasa, bahkan cenderung mendominasi. Tiga pilar itu sudah hidup dengan leluasa dalam habitat media massa Indonesia.
Dalam iklim kebebasan media, mekanisme swa-sensor menjadi acuan utama dalam menentukan kelayakan berita, meninggalkan sensor eksternal dari negara. Dengan demikian, etika menjadi signifikan dalam proses self-censorship. Masalah muncul karena yang dominan dipakai media massa Indonesia adalah etika teknis yang amat rentan bagi publik dalam konteks kompetisi industrial. Di sisi lain, menyambut liberalisasi, kita dihadapkan fakta, ada perbedaan bentuk kontrol negara dan kontrol pasar. Kontrol negara bersifat koersif, sedangkan kontrol pasar bersifat intrusif. Intrusivitas kontrol pasar itu menjelma dalam watak berita yang berorientasi pada kompetisi pasar, berlandaskan etika teknis sehingga berita sering kehilangan makna publiknya.
Tidak mudah menyimpulkan, berita kejahatan yang disajikan televisi berpengaruh langsung bagi khalayak. Ada tiga perspektif yang dapat dikemukakan. Pertama, media dipandang memiliki kekuatan penuh mendikte perilaku khalayak. Dalam hal ini, khalayak dianggap pasif sehingga merespons begitu saja stimulus yang digelontorkan media. Situasi masyarakat yang penuh alienasi, isolasi, depresi, dan tingkat pengangguran tinggi merupakan lahan subur bagi media dalam menancapkan pesan-pesan kejahatan. Kedua, media dipandang amat lemah untuk memengaruhi khalayak. Dalam kondisi ini, khalayak bisa bersikap aktif untuk menegosiasikan atau menolak pesan-pesan kejahatan yang disajikan media. Daya intelektualitas, level ekonomi, atau usia merupakan faktor determinan yang tidak dapat dikesampingkan. Ketiga, media memiliki dampak terbatas bagi khalayak. Hal ini dapat terjadi karena media dipandang sebagai salah satu faktor, selain faktor-faktor lain, seperti kematangan psikologis, konteks sosial yang melingkupi individu-individu, dan daya selektivitas khalayak terhadap muatan media sehingga media bisa berpengaruh pada tingkat gagasan, sikap, atau perilaku.
Fenomena yang tidak boleh dianggap sepele adalah televisi terlalu permisif untuk menampilkan kasus-kasus kriminalitas. Adegan rekonstruksi yang secara rutin ditampilkan televisi telah menjadi tontonan keseharian. Industrialisasi kejahatan menjadi kian marak digulirkan televisi. Kejahatan dikemas secara masif dan berulang-ulang dalam ruang keluarga. Alasan utama yang menjadi dalih klise ialah tontonan kejahatan amat diminati khalayak. Hasrat penonton menjadi justifikasi yang tidak boleh disanggah. Rating, sharing, atau perhitungan komersial mengakibatkan kriminalitas mudah dikonsumsi.
Ketika para pengelola televisi berdalih tingginya berita-berita kejahatan yang ditampilkan karena permintaan konsumen, maka terjadilah mistifikasi pasar. Artinya, pasar dianggap sebagai kekuatan penentu yang tidak dapat dibantah. Padahal, dalam pasar itu ada mekanisme penawaran dan permintaan. Selera pasar bisa diciptakan dan diarahkan. Pasar tontonan seolah berlangsung secara alami, padahal yang sebenarnya berlangsung di pasar kemungkinan dapat direkayasa.
Pasar mendorong jurnalisme berita kejahatan sekadar mengabdi kepentingan modal dan pelipatgandaan keuntungan. Kenyataan ini berlangsung konsisten karena, seperti dikatakan John H McManus (Market-Driven Journalism: Let the Citizen Beware, 1994), pasar memiliki enam karakteristik, yaitu :
  1. Kualitas dan nilai ditentukan konsumen ketimbang produsen atau pemerintah
  2. Responsif terhadap konsumenKoreksi diri karena pasar bersifat fleksibel
  3. Motivasi konstan dari pelaku pasar untuk berkompetisi
  4. Mengandalkan efisiensi .
  5. Konsumen bebas untuk menentukan pilihan.
  6. Dalam menyampaikan berita, media seharusnya tidak hanya menyusun reportase sesuai fakta, tetapi menyampaikan analisis berita (news analysis) agar lebih mempunyai makna public.
  7. Perlu ada seleksi yang lebih ketat terhadap berita dan tayangan oleh instansi terkait, dalam hal ini KPI dan lembaga sensor.
  8. Masyarakat harus bisa bersikap aktif untuk menegosiasikan atau menolak pesan-pesan kejahatan yang disajikan oleh media. Dengan adanya control dari semua pihak, baik masyarakat, pengusaha media, dan pemerintah diharapkan media informasi baik televisi maupun media cetak dapat menjadi sumber berita dan informasi yang baik, dan berimbang.

Namun, nilai yang sering diabaikan pasar ialah moralitas. Pasar televisi tak pernah menggubris apakah tayangan berita kriminalitas berdampak buruk bagi khalayak. Doktrin utama pasar adalah semua tontonan dijual bagi konsumen. Apakah konsumen menjadi berperilaku jahat karena meniru adegan sadisme yang ditayangkan, para produsen tontonan tidak peduli. Bahkan, produsen cenderung menyalahkan khalayak yang dianggap tidak bisa bersikap kritis terhadap berita-berita kriminalitas. Itulah yang dalam bisnis dinamakan externalities, yakni kehancuran dan imoralitas sosial yang terjadi dianggap di luar tanggung jawab media. Televisi tidak pernah keliru karena konsumen sendiri yang dinilai tahu risikonya.
Industrialisasi kejahatan yang dijalankan televisi secara potensial dan nyata mampu menciptakan inspirasi bagi aksi- aksi kejahatan berikutnya. Hal ini mudah dipicu saat masyarakat dilanda anomi, yakni situasi tanpa norma. Pada situasi anomi, tatanan komunitas dan sosial merosot, digantikan rasa keterasingan dan kekacauan. Dalam situasi anomi, terjadi penekanan berlebihan pada tujuan-tujuan hidup, tetapi cara-cara meraih tujuan itu tidak mampu disediakan secara mencukupi yang dikarenakan nilai-nilai kebaikan yang semuanya relatif seperti koruptor dihormati dan disegani. Salah satu kekuatan kunci yang terlibat dalam penanaman tujuan-tujuan hidup adalah media. Media pula yang mengajarkan bagaimana menjalankan kejahatan untuk meraih tujuan hidup itu (Yvonne Jewkes, Media and Crime, 2005).
Televisi berulang memberi contoh bagaimana cara menerabas hukum dapat digunakan untuk meraih tujuan hidup yang dianggap sukses. Meski itu dianggap tindak kejahatan, yang berarti pelanggaran terhadap hukum dan norma-norma, tetap saja diimitasi individu-individu tertentu. Sebab, mereka berpikir tiada cara lain yang lebih baik ketimbang beraksi sebagai kriminal. Di situlah televisi menanamkan perilaku kejahatan dan masyarakat melakukan pembelajaran. Mereka yang melakukan peniruan itu biasanya dari kelompok marjinal yang tidak punya akses untuk meraih tujuan hidup yang baik yang juga dikarenakan koruptor-koruptor yang duduk dipemerintahan.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka Penulis dapat memberikan saran sebagai berikut :
  1. Dalam menyampaikan berita, media seharusnya tidak hanya menyusun reportase sesuai fakta, tetapi menyampaikan analisis berita (news analysis) agar lebih mempunyai makna public.
  2. Perlu ada seleksi yang lebih ketat terhadap berita dan tayangan oleh instansi terkait, dalam hal ini KPI dan lembaga sensor.
  3. Masyarakat harus bisa bersikap aktif untuk menegosiasikan atau menolak pesan-pesan kejahatan yang disajikan oleh media. Dengan adanya control dari semua pihak, baik masyarakat, pengusaha media, dan pemerintah diharapkan media informasi baik televisi maupun media cetak dapat menjadi sumber berita dan informasi yang baik, dan berimbang.

Read more ...

Pelanggaran Etika Bisnis Iklan XL “ Kawin Dengan Monyet “ yang Terlupakan

Senin, 25 November 2013
Akhir-akhir ini sangat banyak iklan yang saling menjatuhkan satu sama lain. Banyak iklan yang mempromosikan sebuah produk dengan menbandingkan produknya itu dengan produk lain sejenis dengan cara merendahkan bahkan mengejek produk lain. Jelas iklan-iklan tersebut sangatlah melanggar etika bisnis.
Masih hangat pasti tentang iklan penyindiran balas-balasan yang dilakukan oleh operator telekomunikasi AS dan XL. Menurut saya bukanlah hal bermanfaat yang dilakukan oleh kedua operator tersebut, justru mungkin akan banyak konsumen hanya tertawa melihat iklan-iklan tersebut dan yang paling ekstrim mungkin akan meninggalkan loyalitas mereka terhadap produk tersebut. Karena apa ? karena perilaku iklan-iklan tersebut seperti perang, terus saling menyerang produk lawan tapi bukan terus memperbaiki kualitas produk mereka masing-masing.
Ternyata iklan yang melanggar etika bisnis yang dilakukan oleh salah satu operator telekomunikasi di atas bukanlah saat-saat ini saja, mungkin masih ada yang masih ingat iklan operator telekomunikasi XL yang bercerita tentang seorang pria yang menikah dengan monyet dan kambing. Sangatlah mengiris hati, konsumenlah yang direndahkan dalam iklan tersebut. Iklan XL tersebut di nilai memperolok dan merendahkan martabat manusia, bahkan beberapa pihak seperti BRTI( Badan Regulasti Telekomunikasi Indonesia) menyatakan bahwa iklan tersebut kebablasan.
Iklan tersebut di nilai tidak memberikan informasi yang lengkap sehingga terjadi misinterpretasi di kalangan konsumen, melampaui batas etika dan tidak memberikan nilai pendidikan bagi masyarakat. Iklan operator telekomunikasi tersebut juga dan yang melanggar UU No.8/1999 pasal 17f pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang melanggar etika dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
Bukti nyata dari pelanggaran etika bisnis di atas adalah akhirnya KPI pusat meminta kepada seluruh stasiun TV untuk menghentikan tayangan iklan tersebut.
Sumber http://forum.kompas.com/showthread.php?1949-XL-Cabut-Iklan-quot-Kawin-dengan-Monyet-quot
Read more ...

Contoh Kasus Pelanggaran Etika Bisnis yang terjadi pada Media Massa

Senin, 25 November 2013

JAKARTA - Ketatnya persaingan di bisnis memungkinkan para pekerja media melakukan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan dalam pelanggaran etika jurnalistik.


Menurut Pakar Journalism Studies dari Universitas Indonesia Awang Ruswandi, di tengah tajamnya persaingan usaha, etika jurnalistik tetap harus dijunjung tinggi oleh media apa pun. Tapi memang (pelanggaran etika) tidak aneh karena di negara besar seperti Amerika Serikat pun ada skandal," ungkap Awang kepada okezone, Jumat (9/3/2010).

Dia menceritakan kasus wartawan di New York, terkait perang Irak. Wartawan tersebut ditugaskan dalam peliputan ke Irak. Namun ternyata dia tidak meliput ke lapangan, justru hanya sampai ke sebuah hotel lalu mebuat berita fiktif.

Kasus hampir sama juga pernah menimpa seorang wartawan dari Jawa Pos yang melakukan wawancara fiktik. Karena terbukti, akibatnya wartawan tersebut dipecat. Dari kasus tersebut, kata Awang, dapat diambil pelajaran berharga. "Artinya, karena desakan persaingan bisnis dan tuntutan deadline, di mana pun pelanggaran etika jurnalistrik bisa mungkin terjadi," tandasnya.

Media massa baik kecil atau besar akan mudah tergelincir dari nilai-nilai tersebut yang semestinya harus menjadi acuan. "Kasus kecilnya, asas praduka tak bersalah juga berlaku di pratik jurnalistik, tapi terkadang diabaikan karena tuntutan bisnis dan deadline," papar Awang.

Sekadar diketahui, praktek media kembali menjadi sorotan setelah Mabes Polri mengadukan seorang presenter TVOne ke Dewan Pers. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Edward Aritonang menjelaskan, Indy diduga merekayasa sang narasumber tersebut agar mengaku sebagai markus. Indy mewawancarai Andris Ronaldi, sang markus, pada 18 Maret 2010.

Dalam wawancara tersebut, Andris mengaku sudah 12 tahun menjadi markus di Mabes Polri. 
(ram) 

Read more ...

JALAN-JALAN MEN !

Selasa, 09 April 2013

KOTA MALANG TUJUAN KU

Pada hari selasa pukul 08.00 pagi saya sudah siap menuju Malang bersama dengan teman-teman saya, perjalanan dimulai dari BMS (Istilah Tongkrongan) menuju Kalibata yang disana pun sudah siap teman-teman kita menuggu, dari BMS saya pergi bersama 4 orang teman saya dengan keril yang siap kita gendong, lantas saja kami berjalan menuju Stasiun Kereta PS.Minggu ke Kalibata. Sampai di Kalibata kami kembali bersiap-siap untuk menuju Stasiun Kereta Senen, kereta kami berangkat pukul 14.10 siang. Dan semua pun telah siap berkemas pukul 11.00 siang kami berangkat ke Stasiun Kereta Senen dengan rombongan 11 orang kami menggunakan 2 mobil menuju sana. Tibalah di Stasiun Senen dengan paras wajah yang gembira, tiket kereta dan fotocopy KTP kami persiapkan untuk memasuki peron kereta, begitu banyak sekali orang-orang yang ada di stasiun kami semua pun waspada akan bawaan kita. Kami mulai memasuki stasiun dengan mengantri yang lumayan cukup panjang, ternyata setelah masuk peron stasiun kita masih harus menuggu selama 1 jam dalam keberangkatan, tapi buat saya menunggu 1 jam tak akan terasa dengan adanya kebersamaan. Bergegaslah kami mencari tempat duduk kami dan menaruh barang bawaan kami dengan masih adanya sisa waktu kita manfaatkan dengan bermain, dan ada yang makan sebelum kereta melaju.












Pukul 14.10 tepat waktu yang kita tunggu-tunggu, rem kereta dilepaskan dari bannya kereta mulai melaju dengan perlahan dan suara raungan kereta yang begitu keras. Kami menyambut ini dengan hati yang senang, perjalanan dalam kereta membuat pengalaman kami karna kami pertama kali menggunakan kereta untuk jalan-jalan. Pukul 08.15 pagi hari rabu tibalah di Malang yang kami tunggu-tunggu, pemberhentian kereta kami di Stasiun Kereta Kota Baru Malang, tak pakai pikir panjang kami langsung turun dan mencium udara malang dengan perasaan gembira. Sampai di Malang kami dijemput oleh Tuan rumah sana yaitu pun teman kami juga, kami disewakan mobil untuk menuju penginepan yang terletak di Kota Batu tepatnya di Desa Songgoriti. “Men ternyata Malang kota yang dingin bersih dan nyaman sekali, ini pengalaman pertama untuk kami.”
Sampai dipenginepan kami bercape lelah dengan mandi, makan , dan beradaptasi ditempat ini. Kami masih dalam suasana yang penasaran. Siang hari kita semua tertidur lelah karena dalam perjalanan yang menelan waktu 18 jam dan ditemanin dengan rintik hujan yang membasahi Malang. Disore hari saya dan teman saya ber5 jalan-jalan kecil mengelilingi Desa songgoriti yang dimana tempat penginepan kami, wauw desa yang bersih dan dingin ini merasa membuat kami selalu betah selama disini. Banyak pohon-pohon cemara dan desa ini pengahasil Susu Perah terbesar di Malang. Malam pertama pun tiba dan keesokan harinya bersiap-siap untuk rencana utama yang kami tuju yaitu menyaksikan Pernikahan teman kita yang di Malang.


  
Pukul 09.00 Pagi di Masjid salah satu daerah Pujon kita menyaksikan teman kita yang menikah dengan akad nikah dan resepsi yang sederhana semua berjalan lancar. Kami pun bangga dengan teman kami yang menikah semoga teman kami menjadi keluarga yang Sakinah,Mawadah,Waromah, Aminn. Setelah akad nikah kami di ajak kerumah istri teman kami yang menikah karena sedang diadakan acara kami makan bersama dengan keluarga istri teman kami. Dengan acara yang panjang malam hari pun kita kembali ke penginapan lelah sudah jadwal hari pertama kita jalankan.




Dihari ke 2 kami siap-siap bersenang-senang menuju JATIMPARK men yang sangat terkenal karna hanya di Malang lah Jatimpark berada, pukul 08.20 pagi kami siap bergegas menuju sana sampai dsana pukul 9.30 pagi ternyata Jatimpark belum dibuka dengan wajah rada bt kami harus menunggu, tapi tak apa kami tetap tertarik untuk masuk kesana karena kami belum ada yang pernah, Loket tiket pun dibuka Jatimpark2 lah yang kita pilih dengan jalur Jatimpark ZOO, Museum, dan Wahana Permainan. Masuklah kami rombongan 11 orang dari Jakarta bersama Rombongan anak TK bersama guru-gurunya dengan seragam yang sama.hehe Kami tak malu yang penting kami masuk Jatimpark ZOO,hehe banyak binatang-binatan yang belum pernah saya lihat sebelumnya dan dengan Layout yang menarik kebun binatang ini salah satu kebun binatang tebaik dan terlengkap yang ada di Indonesia.




Oh ternyata hari ini hari keberuntungan kami, hal yang kami tunggu-tunggu adalah bermain bersama Baby Harimau,Yeaahhh perasaan yang tak karuan kami bermain dan berfoto bersama, setelah puas bermain kami istirahat sebentar disiang hari dengan makan dan minum, tempat yang sangat bersih ini ternyata membuat saya kagum di kebun binatang Jatimpark, kami kembali melangkah meyusuri semua yang ada di kebun binatang ini. Setelah semua pelosok penjuru kami telusuri kami semua menuju wahana permainan dengan gaya norak dan senang kita tak kenal lelah untuk mencoba wahana pemainan yang ada disini, Mulai dari Tsunami, RollerCoster, Rumah Hantu dan banyak lagi.hehe Tapi buat saya yang paling menantang adalah Wahana Tsunami dan RollerCoster.


Hujan pun tiba sore hari tapi tak akan pernah memutuskan semangat kami dalam melangkah, karena masih ada 1 yang belum kita kunjungi yaitu Museum binatang, didalam museum banyak sekali cerita dan peninggalan fosil-fosil bersejarah ini. Memang tempatnya membosankan karena hanya binatang yang sudah mati diawetkan hingga benda-benda diam saja ditempatnya, tapi tetap saja tak kalah keren dengan kebun binatang di museum saya dapat belajar dan mengamati binatang-binatang langka, atau pun yang ingin punah, bahkan dengan didukung oleh Layout yang keren museum nya tidak membuat seperti museum biasanya banyak hal keren di dalam sini. Setelah semua selesai kita kunjungi kami bersiap-siap kembali menuju penginepan, tapi kami sempat mampir untuk makan di rumah makan yang berada dekat di Jatimpark dan sebelum kembali ke penginepan kami di undang kerumah teman kami yang nikah untuk makan malam bersama.

 
Sampai dipenginepan malam hari kami banyak yang tidak mandi karena udara yang sangat-sangat dingin sekali, mungkin kami hanya mencari makan malam saja. Keesokan harinya di hari ke3 kami kembali siap untuk menjelajah Malang kita menuju Batu Night Square, saat pagi pun tiba kami jalan-jalan pagi mengelilingi Pasar Songgoriti bersama-sama mulai dari pemandian aer panas sampai membeli susu perah yang terkenal itu, pukul 10.00 pagi sesudah jalan-jalan pagi kami menuju Pasar Comboran untuk membeli barang-barang klasik dan dilanjutkan dengan solat Jumat. Sore harinya yang kami tunggu-tunggu kita menuju BNS ( Batu Night Square) disana banyak wahana-wahana permainan dan tempat belanja oleh-oleh. Kami bersama-sama kembali masuk dalam wahana Rumah Hantu dan Rumah Kaca, dengan rasa ridak puas mencoba menaiki wahana Rumah Modern dan Ontang Anting, sampai malam hari pun tiba kita berada di BNS kami kembali naek wahan Bom bom car dan bermain Timezone bersama, ya ya sangat sangat menyenangkan. Setalah kami merasa puas menaiki wahana kami menuju pusat perbelanjaan  disana saya pun berkesempatan membeli oleh-oleh buat kekasih saya yang berada di Jakarta karena dia tidak bisa ikut.


Lelah yang menghantui berasa tak ada artinya bagi kami yang penting semua perasaan puas, sesampainya malam hari kami langsung tertidur lelap karena keesokan siang harinya kami harus kembali pulang ke Jakarta. Dihari terakhir pagi-pagi kita bersiap-siap untuk bergegas pulang kembali tetapi sebelum menuju stasiun dan KA.Mataramaja yang berangkat pukul 13.15 sore hari, kami ada tempat yang belum kami kunjungi yaitu Kebun Apel. Berangkat pukul 09.00 pagi kita menuju kebun apel yang berada di Desa Pujon, ternyata apel malang yang terbaik terdapat didaerah sini yang kami kunjungi. “wauw” kami memasuki kebun apel malang yang sangat terkenal ini dan kami siap memborong dengan harga yang sangat murah, bahkan kami gratis memakan apel sepuasnya dalam kebun, ini pengalaman yang benar-benar tak akan terlupakan dan tak akan tergantikan. Sampai siang hari dan hampir lupa kereta akan berangkat kami menyudahi berwisaata di kebun apelnya dengan membawa apel yang banyak “yah apel yang saya bawa dalam keril saya kira-kira ada 8 kg.”hehe kami semua pulang keJakarta membawa oleh-oleh apel malang yang terbaik ini.



Kami pun bergegas kembali menuju stasiun Kota Baru Malang, dengan rasa berat pergi meninggalkan kota malang yang sangat indah, sejuk,dan nyaman ini tapi suatu saat kami yakin akan kembali kesini lagi. Kereta pun telah siap dan Lokomotif pun telah meniupkan terompetnya kami memasuki kereta dan kereta berjalan melaju meninggalkan kota malang yang penuh dengan cerita, kami merasa berbeda dalam perjalanan pulang di kereta merasa lebih suntuk dari saat perjalanan pergi, yah mungkin karena telah merasa cape semua dan merasa bosan dengan kembali ke Kota Jakarta karena liburan kita telah berakhir. Tapi dengan ini saya dan teman-teman mempunyai cerita dan moment yang tak akan terlupakan di Malang, dan siap kembali beraktifitas seperti biasa di Ibu Kota Jakarta. See you. Jakarta-Malang.



Read more ...